![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Fiqh Muamalah: Ekonomi Islam
Penulis : H. Muhammad Yazid, M.S.I
Penerbit : Imtiyaz
Cetakan : I, Maret 2017
Tebal : x + 266 Halaman
ISBN : 978-602-7661-57-8
Resensator : Mohammad Azharudin
Diskursus fikih tidak berjalan pada dimensi ibadah (ritual) semata. Dimensi lain yang juga diulas fikih adalah muamalah (interaksi antarmanusia). Buku ini mengulas secara lengkap semua tema yang menjadi cakupan fiqh muamalah dalam 14 bab. Bab pertama membahas tentang konsep dasar fiqh muamalah. Mengacu pada semua definisi yang ada, M. Yazid menyimpulkan bahwa fiqh muamalah adalah ketentuan-ketentuan hukum tentang seluruh upaya dalam memperoleh dan mengembangkan harta, jual-beli, utang-piutang, dan jasa penitipan yang berlaku di masyarakat, yang dapat dipahami dari dalil-dalil syara’ yang terperinci. Fiqh muamalah sendiri, menurut al-Fikri, terbagi menjadi 2 yakni, al-muamalah al-madiyah (mengkaji objek) dan al-muamalah al-adabiyah (mengkaji subjek).
Bab 2 mengulas soal jual-beli dan khiyar. Dalam perspektif ulama Hanafiyah, jual-beli didefinisikan sebagai aktivitas tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Tidak semua jual-beli itu sah. Terdapat beberapa jual-beli yang masuk dalam kategori batal, di antaranya.
a. Jual-beli sesuatu yang tidak ada. Contoh, jual-beli anak sapi yang masih berada dalam perut induknya.
b. Menjual sesuatu yang tidak dapat diserahkan pada pembeli. Contoh, menjual burung yang masih terbang bebas di udara.
c. Jual-beli yang mengandung unsur penipuan, di mana secara lahiriah ia tampak baik, padahal di dalamnya terdapat unsur-unsur tipuan. Contoh, jual-beli al-muzabanah (barter yang diduga keras tidak sebanding).
d. Jual-beli benda-benda najis, misalnya khamr, babi, bangkai, dan darah.
e. Jual-beli al-‘arbun. Contoh praktiknya, seseorang membeli sesuatu tetapi uangnya akan diberikan kepada penjual jika ia tertarik dan setuju. Sampai titik ini, jual-beli dikatakan sah. Namun, bila seseorang tadi tidak setuju dan barang dikembalikan, sementara uangnya menjadi hibah bagi penjual (tetap di tangan penjual), maka jual-beli ini tidak lagi sah.
f. Memperjualbelikan sesuatu yang tidak boleh dimiliki individu. Contoh, jual-beli air laut.
Adapun khiyar―secara istilah―adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang bertransaksi untuk tetap melanjutkan atau justru membatalkan transaksi berdasarkan kondisi yang telah disepakati semua pihak (hal. 36).
Melompat ke bab 4 yang menguraikan qardh dan riba. Menurut ulama Hanafiyah, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya. Para ulama membolehkan transaksi qardh dengan surat al-Hadid ayat 11 sebagai salah satu nash yang mendasarinya.
مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Barangsiapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia. (QS. Al-Hadid/57: 11)
Sementara itu, pengertian riba secara bahasa adalah al-ziyadah (tambahan). Definisi riba menurut ulama Hanabilah yakni pertambahan sesuatu yang dikhususkan. Ulama fiqh sepakat bahwa hukum riba adalah haram.
Pertanyaanya sekarang, apakah bunga bank masuk dalam kategori riba?. Syekh Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Kairo), Abu al-A’la al-Maududi (Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-‘Arabi (Penasihat Hukum di Islamic Congress Cairo) berpendapat bahwa bunga bank tergolong riba nasi’ah yang dilarang oleh agama (Islam). Adapun Muhammadiyah memutuskan, pada tahun 1968, bahwa bunga bank merupakan sesuatu yang syubhat (belum jelas halal/haramnya). Sementara itu, Mustafa Ahmad al-Zarqa (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria) memaparkan bahwa sistem perbankan hari ini adalah sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, umat Islam boleh saja bermuamalah dengan bank konvensional asalkan itu dalam keadaan darurat dan bersifat sementara (hal. 89).
Beralih jauh ke bab 8 yang membahas seputar mudharabah. Muhammad Yazid menuliskan bahwa mudharabah adalah kerja sama antara shahib al-mal (pihak pertama) dengan mudharib (pihak kedua), yang mana seluruh modal berasal dari shahib al-mal dan keuntungan mudharabah dibagi menurut akad perjanjian. Namun, apabila mengalami kerugian, maka ia akan ditanggung oleh shahib al-mal (dengan catatan kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian mudharib). Jenis mudharabah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu.
1. Mudharabah Mutlaqah, adalah kerja sama antara shahib al-mal dan mudharib yang memiliki cakupan sangat luas (tidak terbatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, atau wilayah bisnis).
2. Mudharabah Muqayyadah, adalah kerja sama antara shahib al-mal dan mudharib yang memiliki batasan dalam aspek jenis usaha, waktu, dan/atau tempat usaha.
Lanjut ke bab 9 yang berfokus pada pembahasan soal murabahah. Menurut Ibn Qudamah (ahli hukum mazhab Hanbali), jual-beli murabahah adalah jual-beli dengan harga pokok ditambah margin keuntungan. Salah satu dalil yang dijadikan landasan murabahah dalam buku ini adalah surat al-Baqarah ayat 198 berikut.
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا۟ فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ
Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu… (QS. al-Baqarah/2: 198).
M. Yazid menyuguhkan beberapa catatan terkait murabahah ini, sebagai berikut (hal. 186).
a. Dalam murabahah, yang dilakukan adalah menetapkan harga barang yang diajukan oleh nasabah berdasarkan harga dasar pembelian ditambah margin keuntungan yang diketahui bersama asal-usulnya. Sementara itu, pinjaman dalam bank konvensional merupakan pinjaman yang terikat jaminan pengembalian dengan kelebihan.
b. Selalu ada objek yang diperjual-belikan dalam murabahah, sementara dalam pinjaman bank konvensional tidak ada.
c. Dalam murabahah, bank syariah menghadapi risiko harga sejak pembelian barang dari distributor sampai barang tersebut diterima oleh nasabah. Adapun bank konvensional, melalui pinjaman, hanya menghadapi risiko kredit (di mana bank konvensional akan mengalami kerugian bila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman beserta bunganya).
Harus diakui bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam buku ini. Salah satu yang cukup jelas adalah terdapat cukup banyak dalil (dalam teks Arab) yang dihadirkan tanpa harakat. Ini tentu agak mengganggu pembaca yang juga ingin memahami redaksi Arab suatu dalil yang berkaitan dengan Ekonomi Islam. Kendati demikian, hal tersebut masih sedikit tertutupi dengan adanya terjemah dari dalil-dalil tanpa harakat itu. Jadi, konklusinya, buku ini sangat layak dijadikan referensi dasar bagi kita yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari seluk-beluk Ekonomi Islam.
0 Comments