![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Fikih Kebencanaan
Penulis : Tim PW LBM NU Jawa Timur
Penerbit : PW LTN NU Jawa Timur & PW LBM NU Jawa Timur
Cetakan : 2022
Tebal : x + 132 Halaman
ISBN : 978-623-98336-3-3
Peresensi : Mohammad Azharudin
Bencana alam merupakan sesuatu yang tak dapat diprediksi kedatangannya. Sebagai manusia biasa, kita tentu akan merasakan penderitaan dan luka bila dilanda bencana. Oleh sebab itu, korban bencana sangat membutuhkan bantuan (mulai dari bantuan moral hingga bantuan harta benda). Semua itu bertujuan―salah satunya―demi mempercepat proses pemulihan. Ketika menjalani proses pemulihan termaktub, tentu ibadah menjadi salah satu aspek yang sama sekali tak dapat dinafikan. Pertanyaannya, apakah kita diharuskan beribadah secara sempurna pasca-dilanda bencana sebagaimana kita beribadah saat kondisi alam baik-baik saja?.
Pertanyaan di atas jelas membutuhkan jawaban yang tak singkat. Kehadiran buku yang disusun oleh 35 orang (yang tergabung dalam Tim PW LBM NU Jawa Timur) ini telah melengkapi fragmen yang kerap luput dari perhatian kita. Dalam bagian “Kata Pengantar”, KH. M. Anwar Manshur menyebutkan bahwa buku ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat (khususnya lagi bagi para relawan dan orang yang pernah menjadi korban bencana).
Buku ini mengambil 3 sumber terkait definisi bencana yang meliputi KBBI, en.wikipedia.org, dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sumber yang disebut terakhir merinci bencana dalam 3 jenis, yakni bencana alam (contoh, gempa bumi dan tsunami), bencana nonalam (contoh, wabah penyakit), dan bencana sosial (contoh, konflik antarkelompok dan teror). Adapun dalam al-Qur’an, terdapat beberapa term terkait bencana ini, sebagai berikut.
1. Mushibah. Kata mushibah memiliki makna “sesuatu yang menimpa/mengenai”. Dalam al-Qur’an, penggunaan kata mushibah umumnya untuk menyebut sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia (hal. 15). Contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan kata mushibah yaitu.
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ
Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. al-Syura/42: 30)
2. Bala’. Kata bala’ dapat bermakna “ujian”. Alasan penyebutan bencana dalam term bala’ adalah karena bencana tersebut dapat menunjukkan kualitas keimanan individu (hal. 16). Contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan kata bala’ yakni.
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun. (QS al-Mulk/67: 2)
3. Fitnah. Kata fitnah memiliki banyak makna dalam al-Qur’an, di antaranya membakar dalam neraka, menyiksa/siksaan, kesesatan/dosa, dan ujian/cobaan (entah itu berupa kesulitan maupun nikmat). Fitnah sendiri tidak ditimpakan pada mereka yang kafir/zalim saja, melainkan juga pada mereka yang taat (hal. 20). Salah satu ayat al-Qur’an yang di dalamnya terdapat kata fitnah adalah.
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami. (QS. al-Anbiya’/21: 35)
Salah satu fenomena yang kerap kita saksikan adalah penyebutan kemusyrikan sebagai satu-satunya penyebab kedatangan bencana. Dalam buku ini dipaparkan bahwa hal tersebut tak sepenuhnya benar. Firman Allah swt menyebutkan.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ ٱلْقُرَىٰ بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Hud/11: 117)
Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan lebih lanjut terkait ayat di atas bahwa Allah swt tidak akan menghancurkan penduduk suatu negeri lantaran kemusyrikan mereka, dengan catatan mereka menjalin relasi sosial dengan baik (saling bermuamalah atas dasar kebaikan dan kebenaran).
Masuk lebih jauh ke aspek ibadah dalam konteks kebencanaan. Ketika hanya ditemukan air keruh pascabencana, maka air tersebut harus digunakan untuk bersuci sebelum shalat asalkan tidak terdapat najis pada air itu. Lalu, bagaimana dengan korban bencana yang tidak dapat bersuci sendiri?. Ia diwajibkan meminta tolong orang lain bila memang hal tersebut menjadi satu-satunya jalan untuk bersuci (hal. 58-59). Namun, terdapat beberapa catatan terkait perkara ini yaitu.
a. Penolong adalah sukarelawan.
b. Jika harus mengeluarkan upah, maka jumlahnya harus memenuhi standar minimal yang berlaku.
c. Upah yang diberikan adalah harta di luar kebutuhan pokok keluarga.
Lanjut ke persoalan shalat. Apabila syarat-syarat shalat sulit terpenuhi (misalnya, sulit mengetahui secara pasti arah kiblat karena tertimbun), maka individu yang mengalaminya wajib shalat li hurmat al-waqti. Shalat li hurmat al-waqti adalah shalat yang dilaksanakan untuk menghormati waktu shalat, di mana kala itu syarat-syarat shalat tidak dapat terpenuhi. Shalat li hurmat al-waqti sendiri sudah menggugurkan kewajiban shalat. Hanya saja ketika individu telah menemui kondisi di mana syarat-syarat shalat sudah bisa terpenuhi secara sempurna, maka ia wajib mengulangi shalatnya.
Adapun bagi korban maupun relawan kebencanaan yang hendak melaksanakan shalat, tetapi pakaian/badan/tempat terdapat najis, sementara tidak terdapat air untuk menyucikannya, maka ia boleh langsung melaksanakan shalat dan shalatnya sah (meski dalam kondisi bersamaan dengan najis). Namun, perlu dicatat bahwa hal ini berlaku bila tidak ada tempat lain yang suci untuk shalat dan pakaian tidak dapat dilepas. Dalam kasus di mana kita melihat nyawa seseorang terancam saat kita masih shalat (misalnya, kondisi kebakaran, tenggelam, atau tertimbun bangunan), maka kita wajib memutus shalat demi menyelamatkan nyawa orang tersebut (hal. 71).
Pembahasan berikutnya (dan terakhir dalam tulisan ini) adalah tentang hukum mencari korban bencana alam. Baik korban bencana yang sudah dipastikan meninggal maupun yang belum dipastikan, mencarinya dihukumi fardhu kifayah bagi tiap orang yang mampu (entah itu secara fisik maupun finansial). Syekh Manshur al-Bahauti (ada juga yang menyebutnya al-Buhuti) memaparkan bahwa mengevakuasi mayat dari bencana seperti longsor dan gempa hukumnya wajib, bila proses evakuasi tersebut tidak menyebabkan terputusnya anggota tubuh mayat. Namun, bila dapat menyebabkan terputusnya anggota tubuh mayat, maka evakuasi tidak diperbolehkan dan tempat di mana mayat berada harus dijadikan sebagai kuburannya.
0 Comments