Ticker

6/recent/ticker-posts

3 Hadis yang Sebaiknya Dipahami Secara Kontekstual

Unsplash.com

 

Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, hadis nyatanya banyak mendapat sorotan. Mulai dari kiyai di desa hingga ustaz di YouTube, semua pernah menyampaikan hadis. Tak heran! Pasalnya Nabi Muhammad saw adalah penutup para nabi. Artinya beliau saw adalah penerima wahyu terakhir, yang mana ia ditujukan bagi seluruh alam hingga yaum al-akhir. Sependek yang saya lihat, tampaknya hadis punya porsi yang lebih banyak disampaikan dalam dakwah/ceramah dibandingkan ayat al-Qur’an. Mungkin ini disebabkan oleh banyaknya ayat al-Qur’an yang bersifat global, yang membutuhkan perincian lebih lanjut. Dan, merinci ayat al-Qur’an memang merupakan fungsi hadis.

Meski demikian, hadis bukan sesuatu yang final. Maksudnya, hadis masih memerlukan perincian (penjelasan) sebelum disampaikan ke publik. Dalam hal ini, pendakwah berperan untuk memberikan interpretasi terhadap hadis. Cara yang paling mudah untuk melakukan hal tersebut adalah dengan memahami hadis secara tekstual. Namun, corak pemahaman tekstual akan berujung pada hasil yang terasa sempit, kaku, dan kurang sesuai dengan kondisi zaman yang telah juh berubah. Guna mengatasi problematika termaktub, dibutuhkan pemahaman kontekstual. Selain bertujuan untuk mendapatkan hasil yang fleksibel (sesuai dengan perubahan zaman), pemahaman kontekstual juga merupakan bentuk ‘pengakuan’ bahwa tak semua hadis bisa dipahami secara tekstual.

Pemahaman kontekstual mengharuskan penafsir untuk memperhatikan segala sesuatu di luar teks (hadis), misalnya siapa audiennya dan bagaimana latar belakang kemunculan hadis tersebut. Dari sedikit literatur yang pernah saya baca dan penjelasan dari beberapa kiyai yang pernah saya dengar, saya menemukan 3 hadis yang sebaiknya dipahami secara kontekstual. Namun, ini bukan berarti hanya ada 3 hadis lho ya!. Tentu saja masih banyak hadis lain yang juga akan lebih baik bila dipahami secara kontekstual. Berikut 3 hadis yang saya maksud.

1.      Hadis tentang Bid’ah

Sepertinya kita sudah nggak asing dengan perdebatan ini. Bahkan persoalan ini terasa masih berlangsung dan belum juga selesai. Masalahnya adalah terjadi sikap saling menyalahkan―bahkan mengafirkan―dalam membahas soal ini. Hadis tentang bid’ah ini terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud dan Sunan al-Tirmidzi. Penggalan hadisnya begini, “...Kull bid’ah dhalalah―Semua bid’ah adalah sesat”. Inilah yang sering digunakan untuk ‘menyerang’ praktik keberagamaan dengan bungkus budaya. Saya sendiri lebih setuju bila hadis ini dipahami secara kontekstual.

Kiyai saya mengulas hadis ini dari aspek kebahasaan. Beliau menggunakan salah satu kaidah ilmu balaghah yang menyatakan, “Yang dikatakan/disebutkan ‘kull’ (semua), yang dimaksud ‘juz’ (sebagian)”. Contoh penggunaan kaidah ini bisa kita lihat dalam surat al-Anbiya’/21 ayat 30 yang penggalannya sebagai berikut, “Wa ja‘alna min al-ma’ kull syai’in hayy―Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air”. Kata kull dalam ayat tersebut bermakna’sebagian’, hanya mencakup manusia, hewan, dan tumbuhan. Sementara itu, jin dan setan tidak termasuk di dalamnya karena tidak diciptakan dari air. Sama halnya dalam hadis tentang bid’ah tadi. Kata kull dalam hadis tersebut bermakna ‘sebagian’. Artinya, tidak semua bid’ah itu selalu sesat. Ada kalanya bid’ah itu baik.

 

2.      Hadis tentang Pemimpin Perempuan

Hadis ini juga banyak diulas oleh berbagai kalangan. Penggalan terjemah dari hadis ini sebagai berikut, “...Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam al-Tirmidzi, dan Imam al-Nasa’i. Karena hadis ini, tak sedikit pihak yang menganggap bahwa seluruh perempuan tak punya kompetensi dalam memimpin. Mereka lantas mengharuskan pemimpin berasal dari kalangan laki-laki. Sementara itu, ulama kontemporer mengkaji hadis ini dengan memerhatikan sisi asbab al-wurud.

Hadis ini dituturkan oleh Nabi saw selepas mendengar penjelasan sahabat tentang pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Persia. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 9 Hijriah. Perempuan yang diangkat jadi ratu tersebut bernama Buwairah binti Syairawaih. Pengangkatannya sebagai ratu terjadi selepas berlangsungnya pembunuhan-pembunuhan dalam rangka perebutan tahta. Dalam buku “Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual” karya Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail disebutkan bahwa hadis tentang pemimpin perempuan ini sifatnya temporal. Artinya, ia tidak berlaku secara umum di setiap zaman. Perempuan yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah perempuan pada masa itu (sekitar tahun 9 H), yang mana masyarakat di masa itu―khususnya di Persia―masih menganggap bahwa derajat perempuan berada di bawah laki-laki. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa hadis tersebut tidak mendiskreditkan perempuan dalam hal kepemimpinan.

 

3.      Hadis yang Menyinggung Jenggot dan Kumis

Penggalan hadis yang ketiga ini demikian, “...Inhaku al-syawariba wa a‘fu al-liha―Guntinglah kumis dan panjangkanlah jenggot!”. Hadis ini diriwayatkan oleh banyak orang, Imam al-Bukhari dan Imam Muslim termasuk di dalamnya. Beberapa orang memahami hadis ini secara tekstual. Oleh sebab itu, mereka melakukan berbagai upaya untuk menumbuhlebatkan jenggotnya. Mereka memandang bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran Islam.

Masih dalam buku karangan Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail, di sana dipaparkan bahwa hadis yang menyinggung soal kumis dan jenggot tersebut memiliki kandungan yang sifatnya lokal. Dengan kata lain, hadis tersebut relevan hanya di beberapa wilayah seperti Arab, Pakistan, dan sekitarnya. Sebab, masyarakat di wilayah-wilayah tersebut memang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi pada rambutnya. Sementara itu, masyarakat Indonesia mempunyai rambut (kumis dan jenggot) yang cenderung tidak terlalu subur. Jadi, bila ditemukan masyarakt Indonesia yang rambut jenggotnya nggak lebat, bukan berarti mereka nggak nyunnah, ya!.

Itulah 3 hadis yang sebaiknya dipahami secara kontekstual supaya lebih relevan dengan kondisi perubahan zaman dan perbedaan tempat (wilayah). Namun, jika pun kalian merasa lebih cocok memahami hadis tersebut secara tekstual, itu sah-sah saja. Asalkan hal tersebut tidak dibarengi dengan pembenaran diri dan menyalahkan―atau bahkan mengafirkan―orang lain yang berbeda pemahaman.

Post a Comment

0 Comments